ILMU JIWA AGAMA/PENDEKATAN PISIKOLOGI
Pisikologi atau Ilmu Jiwa[1] adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu tersebut, sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan caran yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata agama dapat dipahami malalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
Mengobati Jiwa
Yang diobati[2] ialah yang sakit.Kesehatan jiwa tak ubah dengan kesehatan tubuh kasar jua,diukur panas dinginnya. Misalnya,panas manusia yang biasa ialah 36-37,lebih dari itu terlalu panas,dan kurang dari itu terlalu dingin.Lebih kurang dari 36-37menunjukan kesehatanbadan telah hilang.
Aruslah cukup pada jiwa 1 kesehatan ;
Ø Syaja’ah berani pada kebenaran,takut pada ke salahan.
Ø Iffah,Pandai menjaga kehormatan batin.
Ø Hikmah,atau rahasia dari pengalaman kehidupan.
Ø Adaalah,adil walaupun kepada diri sendiri.
Saya telah banyak menelaah,mencoba,banyak bergaul dengan berbagai kalangan,dan sering menyaksikan berbagai peristiwa.Dari Pengembaraan singkat namun berliku ini,saya berhasil mendapatkan sebuah akidah yang teguh,yang tidak mungkin mengalami kegoncangan,yakni bahwa kebahagiaan yang didambakan seluruh manusia itu sesungguhnya berpangkal dari jiwa dan hati mereka.Tidak mungkin ia berasal dari luar wilayah ini.Kesengsaraan yang melingkupi dan menghantui mereka merupakan akibat dari musibah yang melanda hati dan jiwanya.Al-Qur’an mempertegas dan menjelaskan pernyataan ini dalam firman Allah,
Sesungguhnya[3] Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada jiwa mereka sendiri.( Ar-Ra’d :11)
Banyak[4] orang gagal dalam menjalani proses menuju keberhasilan,sebab mereka hanya membayangkan enaknya orang yang telah sampai pada derajadnya tertentu,namun mereka lupa bagaimana dulu mereka bersungguh-sungguh untuk sampai ketempat tersebut.
Ketika telah sampai pada batas tertentu,orang yang sampai pada derajat arif beribadah dengan jiwanya,dan jiwanyapun tidak tinggal diam,namun selalu membolak-balik hati.Hatinya ketika bersama manusia atau berada dalam alam yang tinggi,selalu bersama Allah.
Salah seorang yang telah sampai pada fase arif perna ditanya,’’Jika neraka Jahanam telah dinyalakan, maka bagaimana cara mematikanya ?Ia menjawab ,cara mematikanya adalah dengan percikan api cinta orang-orang yang sampai pada tingkatan Arif.Jadi ,satu nafas termasuk Ilmu Jiwa yang tidak bisa diketahui oleh indra serta tidak akan muncul dan tidak bisa di timbang dengan dunia manusia.Ia datang dari hati menuju Sang Pembolak-balik hati,hingga malaikat pun tidak mengetahui dan tidak akan muat jika ditulis dalam lembaran yang dibawa oleh para malaikat.
Tranfersonal Pisikologi
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak dimana perilakunya mencerminkan apayang difikir,yang dia rasa dan yang dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus,disamping ia dapa menghayati persaan keagamaan dirinya,ia juga dapat meneliti keberagaman orang lain .Tetapi apa makna agama secara pisikologis pasti berbeda-beda pada setiap orang.Bagi sebagian orang,agama adalah ritual ibadah,seperti shalat dan puasa,bagi yang lain Agama adalah pengapdian kepada sesama manusia bahkan sesama makhluk,bagi yang lain lagi agama adalah akhlak perilaku baik,bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk suatu keyakinan,berlatih mati sebelum mati,atau mencari mati [5]( istisyhad ) demi keyakinan.
Di sini [6]kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit,yaitu bagaimana menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan,karena wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama.Para ulama sekalipun,meski mereka meyakini kebenaran yang dianutnya, tetapi tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya,oleh karna itu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a’lamu bissawab,bahwa hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan dengan tuhan,ilmu berhubungan dengan alam ,agama membersikan hati,ilmu mencerdaskan otak, agama dengan iman ilmu diterima dengan logika.
Meski demikian,dalam sejarah manusia,ilmu dan agama selalu tarik-menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur,bekerjasama atau sama-sama kerja,terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat,agama memendang ilmu sebagai sesat,sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan.Belakangan fenomena menunjukan bahwa kepongahan ilmu tumbang di depan keagungan spiritualitas,sehingga bukan saja tidak bertengkar tetapi antara keduanya terjadi perkawinan,seperti yang disebut oleh seorang tokoh pisikologi tranpersonal,
Bagi orang beragama,agama menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya,dan pisikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya.Secara lahir agama menampakan diri dalam bermacam-macam realitas;dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan,dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan kekerasan massal,dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukan hati hingga agitas dan teriakan jargon-jargon agama ( misalnya takbir )yang membakar massa.Inilah kesulitan memahami agama secara ilmiah,oleh karna itu hampir tidak ada definisi agama yang mencakup semua realitas agama.Sebagian besar definisi agama tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.
Sangat[7] menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa,kemulian seorang mukmin diukur dari agamanya,kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya ( karamul mu’mini dinuhu, wa muru’atuhu’aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hinngga lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq,yakni akhlak yang baik,dan [8]nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah sekuat mungkin jangan marah.
Jadi pengertian agama itu sangat kompleks.Pisikologi agama mencoba menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia,tetapi keberagaman seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya.Seberapa besar Pisikologi mampu menguak keberagaman seseorang sangat bergantung kepada paradigma pisikologi ituu sendiri.Bagi Freud ( mazhab Pisikoanalisa ) keberagaman merupakan bentuk gangguan kejiwaan,bagi mazhab Behaviorisme, perilaku keberagaman tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa.Mazhab Kognitip sudah mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang dengan itu menjadi dekat dengan pandangan agama.Dibutuhkan paradigma baru atau mazhab baru Pisikologi untuk bisa memahami keberagaman manusia.
Pisikologi[9] Barat yang diasumsikan mempelajari perilaku berdasarkanHukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias culture,oleh karna itu teori Pisikologi Barat begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi’ah tidak tercover oleh Pisikologi Barat,sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati.Keberagaman seseorang harus diteliti dengan Indegonus Psychology,yakni pisikologi yang berbasis kultur masyarakat yang diteliti.Untuk meneliti keberagaman orang. Islam juga hanya mungkin jika menggunakan paradigma The Islamic Indigenous Psychologiy.
Pisikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya menhunjam jauh ke zaman purba.Dalam sejarah keilmuan Islam,kajian tentang jiwa tidak seperti pisikologi yang menekankan pada perilaku,tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan,oleh karna itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa ( ilm an nafs ),tetapi ilmu akhlak dan Tasawuf .Meneliti keberagaman seorang muslim dengan pendekatan pisikosufistik akan lebih mendekati realitas keberagaman kaum muslimin dibanding dengan paradigma Pisikologi Barat. Term-term qalb,’aql,bashirah (nurani),syahwat dan hawa (hawa nafsu)yang ada dalam Al Qur’an akan lebih memudahkan menangkap realitas keberagaman seseorang muslim.
Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut Encyclopedia itu,agama mempunyai cirri-ciri khas (characteristic features of religion)sebagai berikut:
1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral
4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas,
merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau diwaktu
menjalankan ritual,dan kesemuanya itu dihubungkan dengan gagasan Ketuhanan.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan.
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan dihubungkan dengan Tuhan.
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.
Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu sangat beragam,bahkan satu agamapun,Islam misalnya memiliki keragaman keberagaman yang sangat kompleks.Orang beragama ada yang sangat rational,ada yang tradisional,ada yang fundamentalis dan yang irrational. Keberagaman orang beragamajuga ada yang konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan sosialnya,tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh,ahli ibadah,tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang yang keagamaanya mewujud dalam prilaku sosial yang sangat saleh,sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara memadai.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan.
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan dihubungkan dengan Tuhan.
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.
Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu sangat beragam,bahkan satu agamapun,Islam misalnya memiliki keragaman keberagaman yang sangat kompleks.Orang beragama ada yang sangat rational,ada yang tradisional,ada yang fundamentalis dan yang irrational. Keberagaman orang beragamajuga ada yang konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan sosialnya,tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh,ahli ibadah,tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang yang keagamaanya mewujud dalam prilaku sosial yang sangat saleh,sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara memadai.
[1] Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, Metodologi Studi Islam,2008,PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta,hal 50-51.
[2] Prof Dr. Hamka,Tasawuf Modern, PT.Pustaka Pajimas,2003,Jakarta, hal 149.
[3] Prof Dr. Hamka, PT.Pustaka Pajimas,2003,Jakarta, hal 149.
[4] Fauzi Muhammad Abu Zaid,Taswuf Dan Aliran Sufi,Jakarta, 2006,Cendekia, hal 176-177
[6] an la taghdlaba in
istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).
istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).
[7] Hasan Al-Banna,2009,Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin,Daarud-Dakwah,Jakarta,Hal 218
[9] Opchit. Hal 405-406
Tidak ada komentar:
Posting Komentar